Teori teori dalam komunikasi

Analisis teori
*Interaksi Simbolik dan Manajemen Makna Terkoordinasi*

Oleh : Ikhsan Fuady

Paper ini menjelaskan tentang teori teori komunikasi dalam cluster pesan. 5 teori yang dianalisis terdiri dari teori interaksi simbolik, teori manajemen makna, teori disonansi kognitif, teori Pelanggaran Harapan Nonverbal atau Nonverbal Expectancy Violation Theory, serta elaboration likelihood model. Pembahasan teori teori dalam paper ini meliputi, pencetus teori, asumsi asumsi dalam teori, gambaran umum tentang teori. Selain itu pada paper ini akan mengulas 1 teori secara lebih mendalam meliputi sejarah, perkembangan terkini dan state of the art theory.

1. Teori disonansi kognitif

Teori Disonansi Kognitif, yang dikembangkan oleh psikolog Leon Festinger pada 1950-an. Disonasi kognitif merupakan konsep psikologis yang berfokus pada ketidaknyamanan atau ketegangan yang dialami orang ketika mereka memiliki dua atau lebih keyakinan, sikap, atau perilaku yang saling bertentangan secara bersamaan. Teori ini menunjukkan bahwa individu memiliki dorongan yang melekat untuk menjaga konsistensi dan menghindari konflik internal.
Teori disonansi kognitif telah banyak dipelajari dan diterapkan di berbagai bidang psikologi dan ilmu sosial. Ini membantu menjelaskan fenomena seperti perubahan sikap, pengambilan keputusan, persuasi, dan pembenaran diri. Dengan memahami disonansi kognitif, peneliti dan praktisi dapat memperoleh wawasan tentang bagaimana individu menyelesaikan konflik dan mengubah keyakinan, sikap, dan perilaku mereka.
Menurut teori disonansi kognitif, ketika seseorang mengalami keadaan disonansi kognitif, mereka merasakan ketidaknyamanan psikologis karena ketidakkonsistenan antara keyakinan atau sikap mereka. Ketidaknyamanan ini memotivasi mereka untuk mengurangi disonansi dengan mengubah keyakinan, sikap, atau perilaku mereka untuk mencapai keadaan konsonan atau konsistensi kognitif.

Teori ini mengusulkan tiga cara utama individu dapat mengurangi disonansi kognitif:
A. Mengubah keyakinan atau sikap: Orang dapat mengubah keyakinan atau sikap mereka yang ada untuk membawa mereka sejalan dengan tindakan mereka atau dengan informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan mereka saat ini. Misalnya, jika seseorang percaya bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan tetapi terus merokok, mereka mungkin merasionalisasi perilakunya dengan meremehkan risikonya atau mencari informasi yang mendukung gagasan bahwa merokok tidak berbahaya seperti yang diyakini.
B. Memperoleh informasi baru: Individu dapat mencari informasi baru atau menafsirkan kembali informasi yang ada agar selaras dengan keyakinan atau perilaku mereka saat ini. Mereka mungkin secara selektif memaparkan diri mereka pada sumber-sumber yang menegaskan keyakinan mereka saat ini atau menghindari informasi yang menantang mereka.
C. Mengubah perilaku: Cara lain untuk mengurangi disonansi kognitif adalah dengan mengubah perilaku seseorang agar selaras dengan keyakinan atau sikap yang ada. Misalnya, jika seseorang percaya bahwa olahraga teratur penting untuk kesehatan tetapi menjalani gaya hidup yang tidak aktif, mereka mungkin mulai berolahraga untuk mengurangi disonansi antara keyakinan dan tindakan mereka.

Asumsi Teori Disonansi Kognitif didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
Setidaknya ada lima asumsi dalam teori disonasi kognitif;
1. Ketidakkonsistenan menyebabkan ketidaknyamanan psikologis: Teori ini mengasumsikan bahwa ketika individu memegang keyakinan yang bertentangan, sikap, atau terlibat dalam perilaku yang tidak sesuai dengan keyakinan atau nilai yang ada, mereka mengalami keadaan disonansi kognitif. Ketidaknyamanan ini muncul dari perbedaan yang dirasakan antara kognisi mereka.
2. Disonansi memotivasi restrukturisasi kognitif: Teori disonansi kognitif menyatakan bahwa ketidaknyamanan yang dialami individu memotivasi mereka untuk mengurangi inkonsistensi dan memulihkan konsonan kognitif. Mereka termotivasi untuk menyelaraskan keyakinan, sikap, atau perilaku mereka untuk mengurangi disonansi.
3. Individu memiliki dorongan untuk konsistensi kognitif: Teori ini mengasumsikan bahwa individu memiliki keinginan yang melekat untuk mempertahankan konsistensi internal dalam sistem kognitif mereka. Mereka berusaha keras untuk menghindari konflik dan mencari keharmonisan di antara keyakinan, sikap, dan perilaku mereka.
4. Pengurangan disonansi adalah proses sadar: Teori disonansi kognitif menunjukkan bahwa individu secara aktif terlibat dalam proses kognitif untuk mengurangi disonansi. Mereka menyadari ketidakkonsistenan tersebut dan secara sadar berusaha untuk menyelesaikannya melalui berbagai cara, seperti mengubah keyakinan, mencari informasi baru, atau mengubah perilaku.
5. Pengurangan disonansi mengarah pada perubahan sikap: Teori ini mengusulkan bahwa ketika individu berhasil mengurangi disonansi kognitif, sering mengakibatkan perubahan sikap atau keyakinan. Dengan menyelaraskan kognisi mereka, individu menciptakan rasa harmoni dan mengurangi ketidaknyamanan yang terkait dengan ketidakkonsistenan.

disonansi kognitif
Penting untuk dicatat bahwa sementara Teori Disonansi Kognitif memberikan wawasan berharga ke dalam kognisi dan perilaku manusia, itu bukan tanpa kritik. Beberapa peneliti berpendapat bahwa disonansi kognitif tidak selalu mengarah pada perubahan sikap, dan ada faktor-faktor seperti perbedaan individu, pengaruh budaya, dan tekanan eksternal yang dapat memengaruhi cara individu merespons disonansi. Meskipun demikian, teori tersebut tetap berpengaruh dalam memahami proses perubahan sikap, pengambilan keputusan, dan pembenaran diri

Contoh penerapan teori dalam masyarkat:

Pada masa pandemic covid, sebagian masyarakat tidak percaya akan adanya virus covid, namun, masifnya pemberitaan, banyak orang yang meninggal akibat pandemic ini,mereka yang tidak percaya akan adanya virus covid, cenderung cemas, apakah akan menggunakan masker, jaga jarak, dan lainnya sebagai protocol kesehatan.

Tanda-Tanda Disonansi Kognitif
Sebenarnya, disonansi kognitif sering kali kita alami dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tanda-tandanya terkadang sulit untuk dikenali. Oleh sebab itu, yuk kita kenali bersama apa saja tanda-tanda disonansi kognitif berikut ini:
1. Merasa tidak nyaman sebelum mengambil keputusan atau melakukan sesuatu
2. Mencoba untuk mencari pembenaran atas keputusan yang telah diambil atau tindakan yang telah dilakukan
3. Merasa malu akan suatu hal yang telah dilakukan dan berusaha menyembunyikan tindakan tersebut dari orang lain
4. Merasa bersalah atau menyesal akan suatu hal yang telah dilakukan di masa lalu
5. Sering melakukan sesuatu karena tekanan sosial atau takut ketinggalan atau fear of missing out (FOMO), meski hal tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang ingin dilakukan

2. Expectancy Violation Theory (EVT)

Expectancy Violation Theory (EVT) adalah teori komunikasi yang dikembangkan oleh Judee K. Burgoon pada akhir tahun 1970-an. Ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana individu menafsirkan dan menanggapi perilaku yang tidak terduga atau menyimpang dari orang lain dalam interaksi interpersonal. EVT menunjukkan bahwa ketika perilaku seseorang melanggar harapan atau norma interaksi sosial, hal itu menimbulkan reaksi kognitif dan emosional dari pengamat.
Teori Pelanggaran Harapan telah banyak diterapkan dalam berbagai konteks interpersonal, seperti hubungan romantis, interaksi keluarga, dan komunikasi organisasi. Ini memberikan wawasan tentang bagaimana individu menafsirkan dan menanggapi perilaku tak terduga, menekankan peran harapan, valensi, dan faktor relasional dalam membentuk dinamika komunikasi.

Asumsi utama Teori Pelanggaran Harapan adalah sebagai berikut:
1. Ekspektasi: EVT berasumsi bahwa individu mengembangkan ekspektasi tentang bagaimana orang lain akan berperilaku dalam berbagai situasi sosial. Harapan ini didasarkan pada faktor-faktor seperti norma budaya, pengalaman pribadi, dan norma sosial. Ekspektasi dapat dikategorikan ke dalam dua jenis: (a) ekspektasi prediktif, yang didasarkan pada perilaku yang dianggap normal atau tipikal, dan (b) ekspektasi preskriptif, yang didasarkan pada norma sosial dan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan.
2. Valensi Pelanggaran: EVT mengusulkan bahwa ketika perilaku seseorang menyimpang dari yang diharapkan, itu menciptakan valensi pelanggaran. Valensi pelanggaran adalah nilai positif atau negatif yang dirasakan terkait dengan penyimpangan. Pelanggaran positif terjadi ketika perilaku yang tidak diharapkan dianggap baik, sedangkan pelanggaran negatif terjadi ketika perilaku dianggap tidak baik.
3. Valensi Imbalan Komunikator: EVT menunjukkan bahwa evaluasi pengamat terhadap pelanggar, termasuk daya tarik, kredibilitas, dan kekuatan mereka, memengaruhi bagaimana pelanggaran tersebut ditafsirkan dan ditanggapi. Sikap dan hubungan pengamat yang sudah ada sebelumnya dengan pelanggar juga berperan dalam menentukan tanggapan mereka.
4. Gairah dan Pemrosesan Kognitif: Ketika pelanggaran terjadi, itu menciptakan gairah dan pemrosesan kognitif pada pengamat. Mereka menjadi lebih memperhatikan perilaku dan terlibat dalam proses evaluasi untuk memahami pelanggaran tersebut. Evaluasi ini melibatkan penilaian niat di balik perilaku dan konsekuensi potensial.
5. Respons Perilaku dan Afektif: EVT mengusulkan agar individu merespons pelanggaran harapan melalui respons perilaku dan afektif. Tanggapan ini dapat berkisar dari peningkatan perhatian dan keterlibatan, perubahan perilaku nonverbal, peningkatan rasa suka atau tidak suka terhadap pelanggar, dan perubahan tingkat keintiman relasional.
6. Penyesuaian Komunikasi: EVT menunjukkan bahwa individu menyesuaikan perilaku komunikasi mereka dalam menanggapi pelanggaran. Mereka mungkin membalas perilaku tersebut, terlibat dalam perilaku kompensasi, atau mencari klarifikasi dari pelanggar untuk memulihkan rasa prediktabilitas dan mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut.

Contoh penerapan Teori Pelanggaran Harapan:

Contoh ini Teori Pelanggaran Harapan membantu menjelaskan bagaimana individu menafsirkan dan merespons perilaku yang tidak terduga. Teori ini menekankan peran ekspektasi, valensi pelanggaran, dan hubungan dengan pelanggar dalam membentuk reaksi kita dan penyesuaian komunikasi selanjutnya.
Bayangkan misalnya kita memiliki teman dekat yang biasanya pendiam dan pendiam selama percakapan. kita terbiasa dengan perilaku mereka dan berharap mereka berbicara dengan lembut dan menjaga sikap tenang. Suatu hari, selama pertemuan kelompok, teman ini tiba-tiba mulai berbicara dengan keras, menggunakan gerakan yang aneh, dan menunjukkan energi tingkat tinggi. Dalam skenario ini, perilaku tak terduga dari teman kita melanggar harapan dan norma gaya komunikasi.
Analisis kasus berdasarkan Teori Pelanggaran Harapan.

Valensi Pelanggaran: Persepsi kita tentang valensi pelanggaran akan bergantung pada apakah kita menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai positif atau negatif. Jika kita menganggap perilaku energik secara positif, kita mungkin menganggapnya menyegarkan, mengasyikkan, atau menghibur. Namun, jika kita melihatnya secara negatif, kita mungkin menganggapnya mengganggu, mencari perhatian, atau tidak pantas.

Valensi Imbalan Komunikator: Evaluasi kita terhadap daya tarik, kredibilitas, dan kekuatan teman Kita akan memengaruhi interpretasi Kita terhadap pelanggaran tersebut. Jika Kita memiliki pandangan positif tentang teman Kita dan mengagumi kepercayaan diri atau ketegasannya, Kita dapat menanggapi pelanggaran tersebut dengan lebih baik. Di sisi lain, jika Kita menganggap teman Kita biasanya pendiam dan yakin dia harus memenuhi ekspektasi tersebut, Kita mungkin akan menanggapinya dengan kurang positif.
Gairah dan Pemrosesan Kognitif: Pelanggaran memicu gairah dan pemrosesan kognitif dalam pikiran Kita. Kita mungkin menjadi lebih memperhatikan perilaku teman Kita, mencoba memahami maksud di balik perubahan yang tiba-tiba itu. Kita mungkin bertanya-tanya apakah terjadi sesuatu yang signifikan yang menyebabkan perubahan ini atau apakah itu hanya penyimpangan sementara dari perilaku biasanya.
Respons Perilaku dan Afektif: Respons Kita dapat bervariasi berdasarkan pelanggaran. Jika Kita menganggap pelanggaran tersebut secara positif, Kita mungkin merasa terlibat dan terhibur dengan perilaku teman Kita, merespons dengan tawa, partisipasi aktif, atau umpan balik positif. Sebaliknya, jika Kita menganggap pelanggaran tersebut secara negatif, Kita mungkin merasa terkejut, kesal, atau tidak nyaman, yang mengarah ke respons yang lebih tertutup atau jauh.
Penyesuaian Komunikasi: Tanggapan Kita mungkin melibatkan penyesuaian perilaku komunikasi Kita sendiri. Jika Kita memandang pelanggaran secara positif, Kita mungkin membalas perilaku energik mereka, terlibat dalam percakapan yang lebih hidup. Sebaliknya, jika Kita memandang pelanggaran tersebut secara negatif, Kita dapat mencari klarifikasi dari teman Kita, menanyakan apakah semuanya baik-baik saja atau menyatakan keterkejutan Kita atas perubahan perilaku mereka yang tiba-tiba.

3. Teori Interaksi Simbolik

Awal perkembangan interaksi simbolik berasal dari dua aliran, Pertama, mahzab Chicago, yang dipelopori Herbert Blumer1 (1962), melanjutkan penelitian yang pernah dilakukan George Herbert Mead (1863-1931). Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa dilakukan dengan cara sama seperti penelitian pada benda mati. Seorang peneliti harus menempatkan empati pada pokok materi, terjun langsung pada pengalamannya, dan berusaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer menghindari kuantitatif dan statistik dengan melakukan pendekatan ilmiah melalui riwayat hidup, otobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Penekankan pentingnya ada pada pengamatan peneliti.
Interaksi simbolik bukan hanya tentang bicara. Istilah ini tersebut mengacu pada bahasa dan gerak tubuh seseorang menggunakan dalam mengantisipasi cara orang lain akan merespon. Lisan dan tanggapan nonverbal yang kemudian diberikan oleh pendengar dibuat dengan harapan tentang bagaimana pembicara asli akan bereaksi. Proses lanjutannya seperti permainan tebak-tebakan yang dijelaskan dalam pengantar bagian ini; itu penuh percakapan(GRIFFIN et al., 2015).
Interaksi simbolik telah menyatukan studi bagaimana kelompok mengkoordinasi tindakan mereka; bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan; bagaimana kenyataan dibangun; bagaimana diri diciptakan; bagaimana struktur sosial besar dibentuk; dan bagaimana kebijakan publik dapat dipengaruhi yang merupakan sebuah gagasan dasar dari perkembangannya dan perluasan teorites Ilmu komunikasi(Ahmadi, 2008).
Akar sejarah Utama Teori Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik merupakan studi yang lahir dari paradigma interpretive sebagai antitesa paradigma positifistik(Lin et al., 2018). Pemahaman interaksi simbolik setidaknya dua akr intelektual yang paling signifikan dalam perkembangan intrekasi simbolik yang pertama adalah filsafat pragmatism dan behaviorisme psikologis (Denzin, 2008).
Pragmatisme
Pragmatisme meruapan suatu pandangan filosofis yang emiliki pengaruh pesar terhadap pemikiran orientasi sosiologis Mead. Aliran pragmatism memandang bahwa relaitas tertinggi Realitas tertinggi tidak ada di luar sana, Realitas tertinggi secara aktif di ciptakan (J.Hewitt, 1984), Orang mengingat dan mendasarkan pengetahuan ttg dunia Pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka, Orang mendifinisikan objek social, yang mereka temui menurut , Manfaatnya bagi mereka.
point penting pragmatism, Fokus pada interaksi antar actor dengan dunia, Pandangan bahwa actor dan dunia merupakanproses dinamis, Penekanan pada kemampuan actor utk menafsirkan dunia social (john dewey).
Pragmatisme dalam konteks akar hsitoris interaksi simbolik dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran realisme nominalisme dan realisme social (filosofis). Kelompok realis membedakan antara obyek pikiran dan tindakan pikiran itu sendiri. Pada umumnya, kaum realis menekankan teori korespondensi untuk meneliti kebenaran pernyataan-pernyataan. Kebenaran adalah hubungan erat putusan kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada dunia sebagaimana adanya. Kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang obyektif.
Dalam konteks historis interaksi simbolik, realisme nominalisme memandang, walaupun terdapat feonomena level makro tetapi tidak mempengaruhi sikap independent perilaku individu. Individu sebagai agen esistensial bebas menerima, menolak, menafsirkan, mendifinsikan. Sementara realisme social memandang masyarakat yang menciptakan mengendalikan proses mental social.
Aliran lain yang memiliki akar historis interaksi simbolik adalah behaviorisme. Aliran Behaviorisme adalah aliran psikologi yang memandang orang sebagai makhluk rektif yang memberikan responsnya terhadap lingkungannya, serta pengalaman lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Tokoh utama behaviorisme ini adalah Watson. Behaviorisme setidaknya dapat dikelompokkan kedalam dua aliran utama yaitu behaviour radikal dan behavior social. Behavior radikal memberikan perhatian pada perubahan individu yang teramati. Tokoh aliran ini adalah Watson. Sementara aliran behavioural social lebih memandang perilaku tidak hanya yang tampak, tetapi proses dalam individu merupakan bagian dari hal yang diobersrvasi. Salah satu tokoh behaviorisme social ini adalah Herbert mead.
Perbedaan behavioral radikal dan social digambarkan pada table ;
Fokus Behavioral Radikal Behavioral Sosial
Fokus perilaku Yang nyata Yang terbuka dan tertutup
Proses mental Mengabaika/tidak didefinisikan
Tidak mempedulikan isi kepala Memahami proses proses mentalf
Fikiran Menolak fikiran Bagian dari unit analisis

Tema dan Asumsi Teori Interaksi Simbolik
Teori Interaksi Simbolik didasarkan pada gagasan tentang diri dan hubungannya dengan masyarakat. Karena pernyataan ini dapat diartikan sangat luas, kami ingin menghabiskan beberapa waktu merinci tema teori dan, dalam prosesnya, mengungkapkan asumsi- membingkai teori.
Tiga asumsi membingkai Interaksionisme Simbolik (Carter & Fuller, 2015; LaRossa & Rietzes, 1993):
∙ Individu membangun makna melalui proses komunikasi.
∙ Konsep diri adalah motivasi untuk berperilaku.
∙ Ada hubungan unik antara individu dan masyarakat.

Pertama, Teori Interaksi Simbolik berpandangan bahwa individu membangun makna melalui proses komunikasi karena makna tidak intrinsik untuk suatu hal atau ide. Dibutuhkan orang untuk membuat makna. Padahal, tujuan interaksi adalah menciptakan makna bersama. Hal ini terjadi karena tanpa berbagi makna komunikasi sangat berbeda.
Bayangkan mencoba untuk berbicara dengan seorang teman jika Anda harus menjelaskan Anda memiliki arti tersendiri untuk setiap kata yang Anda gunakan, dan teman Anda harus melakukannya sama. Tentu saja, terkadang kita berasumsi bahwa kita dan lawan bicara kita setuju pada arti hanya untuk mengetahui bahwa kita salah (Ibu: “Saya bilang bersiap-siaplah secepat mungkin sebisa kamu.” Joe: “Satu jam adalah waktu yang saya butuhkan untuk bersiap-siap.” Ibu: “Tapi maksudku untuk Anda siap dalam 15 menit. Joe: “Kamu tidak mengatakan itu!”), tetapi, seringkali, kita bisa mengandalkan orang-orang yang memiliki makna umum dalam percakapan.
Tiga kesimpulan dapat diturunkan dari asumsi ini (Blumer, 1969; LaRossa & Reitzes, 1993). Mereka termasuk:
a. Manusia bertindak terhadap orang lain atas dasar makna yang dimiliki orang lain bagi mereka.
b. Makna tercipta dalam interaksi antar manusia.
c. Makna diubah melalui proses interpretatif.

Manusia Bertindak Terhadap Orang Lain Atas Dasar Makna Yang Dimiliki Orang Lain Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai lingkaran antara rangsangan dan renspon orang menunjukkan rangsangan tersebut. Teori Interaksi Simbolik seperti Herbert Blumer prihatin dengan makna di balik perilaku. Mereka mencari maksud- dengan memeriksa penjelasan psikologis dan sosiologis untuk perilaku. Dengan demikian, saat peneliti mempelajari perilaku Roger Thomas (dari skenario awal kami), mereka melihatnya membuat makna yang kongruen dengan kekuatan sosial yang terbentuk dia. Misalnya, Roger memberi makna pada pengalaman kerja barunya dengan melamar interpretasi yang disepakati bersama terhadap hal-hal yang dilihatnya.
Makna Tercipta dalam Interaksi Antar Orang
Mead menekankan intersubjektif makna dasar. Makna bisa ada, menurut Mead, hanya ketika orang berbagi interpretasi umum dari symbol simbol yang mereka tukarkan dalam interaksi. Blumer (1969) menjelaskan bahwa ada tiga cara menghitung asal mula makna. Satu pendekatan menganggap makna sebagai intrinsik untuk hal itu. Blumer menyatakan, “Jadi, sebuah kursi jelas kursi itu sendiri. . . artinya berasal, bisa dikatakan, dari benda dan sebagai sehingga tidak ada proses yang terlibat dalam pembentukannya; yang diperlukan hanyalah mengenali makna yang ada pada benda itu” .
Pendekatan kedua terhadap asal mula makna melihatnya sebagai “dibawa ke benda oleh orang untuk siapa benda itu memiliki arti” (Blumer, 1969, hal. 4). Posisi ini mendukung gagasan populer bahwa makna ada pada orang, bukan pada benda. Di dalam perspektif, makna dijelaskan dengan mengisolasi unsur-unsur psikologis dalam suatu individu yang menghasilkan makna. Teori Mead mengambil pendekatan makna ketiga, yang kongruen dengan banyak peneliti komunikasi, melihatnya terjadi di antara orang-orang. Arti adalah “produk sosial” atau “kreasi yang terbentuk di dalam dan melalui aktivitas yang menentukan ikatan orang saat mereka berinteraksi” (Blumer, 1969, hal. 5). Oleh karena itu, jika kita tidak berbagi bahasa yang sama dan tidak menyetujui denotasi dan konotasi dari simbol yang mereka tukarkan, tidak ada makna yang dihasilkan dari percakapan mereka.
Selain itu, makna yang diciptakan oleh individu individu unik bagi mereka. Sebuah studi tentang bagaimana polisi secara simbolis mengkonstruksi makna dari pekerjaan mereka (Innes, 2002) mengilustrasikan asumsi ini dengan menunjukkan bagaimana polisi berbicara tentang pembunuhan kepada publik dan di antara mereka sendiri.

Makna Dimodifikasi Melalui Proses Interpretasi Blumer mencatat bahwa ini termasuk proses terpretif memiliki dua langkah. Pertama, komunikator menunjukkan hal-hal yang dimiliki arti. Blumer berpendapat bahwa bagian dari proses ini berbeda dengan psikologis pendekatan dan terdiri dari orang-orang yang terlibat dalam komunikasi dengan diri mereka sendiri. Dengan demikian, saat Roger bersiap untuk bekerja di pagi hari, dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri tentang bidang yang berarti baginya. Langkah kedua melibatkan komunikator memilih memeriksa, dan mengubah makna dalam konteks di mana mereka menemukan diri mereka sendiri.
Ketika Roger berbicara dengan Helen, dia mendengarkan ucapannya yang relevan dengan bidangnya dia telah memutuskan bermakna. Selanjutnya, dalam proses interpretasinya, Roger bergantung pada makna sosial bersama yang diterima secara budaya. Dengan demikian, Roger dan Helen mampu untuk berkomunikasi dengan relatif mudah karena keduanya berasal dari budaya bersama yang serupa.

Gagasan Herbert mead dan interaksi simbolik digambarkan pada gambar berikut:

Asumsi kedua berfokus pada pentingnya konsep diri, atau seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipegang orang tentang diri mereka sendiri
Konsep diri adalah suatu motivasi yang mendorong tingkah laku manusia. Ketika Roger (atau aktor sosial lainnya) mengajukan pertanyaan “Siapa saya?”, jawabannya berkaitan dengan konsep diri. Karakteristik yang diakui Roger- tepi tentang ciri fisik, peran, bakat, keadaan emosi, nilai, keterampilan sosialnya dan batasan, kecerdasan, dan sebagainya membentuk konsep dirinya. Gagasan ini sangat penting untuk Interaksionisme Simbolik. Selanjutnya, Interaksi Simbolik tertarik pada cara orang mengembangkan konsep diri. Teori menggambarkan individu dengan diri aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lain (Gambar 4.1). Tema ini menyarankan dua kesimpulan, menurut LaRossa dan Reitzes (1993):
∙ Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
∙ Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku.

Individu Mengembangkan Konsep Diri Melalui Interaksi dengan Orang Lain
Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hanya melalui kontak dengan orang lain kita mengembangkan rasa diri. Orang tidak dilahirkan dengan konsep diri; mereka mempelajarinya melalui interaksi. Bayi tidak memiliki perasaan diri yang terindividuasi. Selama tahun pertama kehidupan, anak-anak mulai membedakan dirinya dari lingkungannya. Ini adalah perkembangan paling awal dari konsep diri. Teori Mead berpendapat bahwa proses ini berlanjut melalui perolehan bahasa anak dan kemampuan untuk merespons orang lain dan menginternalisasi umpan balik yang diterimanya.

Konsep Diri Memberikan Motif Penting untuk Perilaku Gagasan bahwa keyakinan,
Nilai-nilai, perasaan, dan penilaian tentang diri mempengaruhi perilaku adalah prinsip utama dari teori. Interaksionis Simbolik berpendapat bahwa ada hubungan unik antara individu dan masyarakat. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka disediakan dengan mekanisme untuk interaksi diri. Mekanisme ini digunakan untuk memandu perilaku dan tingkah laku. Penting juga untuk dicatat bahwa Mead melihat diri sebagai sebuah proses, bukan sebagai struktur. Memiliki diri memaksa orang untuk membangun tindakan dan tanggapan mereka, daripada sekadar mengungkapkannya. Jadi, misalnya, jika Anda merasa senang dengan milik Anda kemampuan dalam kursus teori komunikasi Anda, maka kemungkinan besar Anda akan melakukannya dengan baik kursus. Bahkan, kemungkinan besar Anda akan merasa percaya diri dengan semua kursus Anda. Ini proses sering disebut self-fulfilling prophecy, atau ekspektasi diri yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga harapannya terwujud. Ketika Roger mengingat pujian profesornya atas kemampuan tekniknya, dia mengatur dirinya sendiri membuat ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya tentang kinerjanya di pekerjaan barunya.
Asumsi terakhir adalah ada hubungan unik antara kebebasan individu dan kendala sosial. Interaksionis Simbolik berpendapat bahwa hubungan yang unik terjadi antara individu dan masyarakat. Mead dan Blumer mengambil posisi tengah tentang masalah ini. Mereka mencoba memperhitungkan keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Teori Interaksi Simbolik sebagai teori sosiologi yang komprehensif diakui bahwa struktur sosial dan faktor pribadi mempengaruhi perilaku (Andersen & Taylor, 2016). Individu dipengaruhi dalam pikiran dan tindakan mereka oleh social kekuatan dan proses, makna dan simbol bersama, dan oleh agen individu dan motif diri (Mead, 1934). Donald Reitzes dan rekan-rekannya (2010) mencatat hal itu karena posisi tengah ini, mengakui pentingnya kedua individu dan masyarakat,.”
Kesimpulan terkait asumsi ini antara lain sebagai berikut:
∙ Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.
∙ Struktur sosial terbentuk melalui interaksi sosial

Konsep Kunci
Pikiran
Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol yang memiliki makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar benar berinteraksi dengan orang lain sampai mereka belajar bahasa, atau berbagi sistem simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan, atau itu simbol yang membangkitkan makna yang pada dasarnya sama bagi banyak orang. Mari gunakan bayi sebagai contoh untuk mengilustrasikan konsep simbol signifikan. Ketika orang tua membujuk dan berbicara dengan bayi mereka, bayi mungkin akan merespon, tetapi dia tidak benar-benar mengerti arti dari kata kata yang digunakan orang tuanya. Saat dia belajar bahasa, bayi bertukar simbol yang dimiliki bersama atau signifikan dan dapat mengantisipasi tanggapan orang lain terhadap simbol tersebut.
Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain kita mengenal apa yang disebut Mead pikiran, dan ini memungkinkan kita untuk menciptakan pengaturan interior untuk masyarakat yang kita lihat berkembang di luar kita. Dengan demikian, pikiran dapat dilihat sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat.
Namun pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyarankan bahwa ada timbal balik hubungan: Pikiran mencerminkan dan menciptakan dunia sosial. Ketika orang belajar Bahasa mereka mempelajari norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang membatasi mereka. Tapi mereka juga belajar cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial itu melalui interaksi. Ketika anak anak belajar berbicara, mereka mungkin belajar mengatakan “tolong” dan “terima kasih” sebagai indikator budaya dari kesopanan. Namun mereka juga dapat menciptakan cara-cara yang unik dan pribadi untuk mengekspresikan kesopanan.
Terkait erat dengan konsep pikiran adalah gagasan pemikiran, yang Mead anggap sebagai percakapan batin.
Menurut Mead, salah satu kegiatan paling kritis yang dilakukan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran, atau kemampuan untuk secara simbolis menempatkan diri dalam suatu membayangkan diri orang lain. Proses ini juga disebut “pengambilan perspektif” karena itu mengharuskan seseorang menangguhkan perspektifnya sendiri tentang suatu pengalaman dan alih-alih melihatnya dari perspektif imajiner orang lain.

Self
Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Dari sini Anda dapat melihat bahwa Mead tidak percaya bahwa diri berasal dari introspeksi atau dari sekadar berpikir sendiri. Bagi Mead, diri berkembang dari yang khusus jenis pengambilan peran yaitu, membayangkan bagaimana kita memandang orang lain. Peminjaman sebuah konsep yang berasal dari sosiolog Charles Cooley pada tahun 1912, Mead mengacu pada hal ini sebagai cermin diri, atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan tatapan orang lain. Cooley (1972) percaya bahwa tiga prinsip pembangunan terkait dengan cermin diri: (1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat oleh orang lain, (2) kita membayangkan penilaian orang lain, dan (3) kita merasa sakit hati atau bangga berdasarkan perasaan diri tersebut.
Saat Mead berteori tentang diri, dia mengamati bahwa melalui bahasa yang dimiliki orang kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi diri mereka sendiri. Sebagai subjek, kami bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagai I(aku) dan objek, atau diri yang mengamati (me), . I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan sadar sosial. Saya mungkin ingin keluar dan berpesta sepanjang malam, sedangkan Aku mungkin berhati-hati dan mengakuinya tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan daripada berpesta. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan I dan Me.
Contoh dalam kehidupan kita misalnya; saya sebetulnya ingin menghabiskan akhir pekan dengan liburan ke luar kota, namun saya merasakan sebagai mahasiswa memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Oranglain seperti dosen teman mungkin akan menilai saya buruk jika tidak mengerjakan tugas yang telah ditentukan. Apa yang harus saya lakukan merupakan interaksi peran saya sebagai I dan me.

Society
Mead berpendapat bahwa interaksi terjadi dalam struktur sosial yang dinamis yang kita sebut budaya atau masyarakat. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jaringan hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Masyarakat dengan demikian menampilkan seperangkat perilaku yang saling terkait itu individu terus menyesuaikan diri. Masyarakat ada sebelum individu, tetapi juga diciptakan dibentuk dan dibentuk oleh individu, bertindak bersama dengan orang lain (Bern-Klug, 2009; Forte, 2004).
Masyarakat, kemudian, terdiri dari individu-individu, dan Mead berbicara tentang dua bagian tertentu masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri. Gagasan Mead tentang orang lain tertentu merujuk kepada individu-individu dalam masyarakat yang penting bagi kita. Orang-orang ini biasanya terkenal hanya anggota, teman, rekan kerja, dan penyelia. Kami melihat ke orang lain tertentu untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa diri. Ketika Roger memikirkannya pendapat orang tua tentang dia, dia memperoleh rasa diri dari orang lain tertentu. Itu identitas orang lain tertentu dan konteksnya memengaruhi rasa penerimaan sosial kita(West & Turner, 2021).

Contoh dalam kehidupan sehari hari kita sering menemukan bagaimana kita dihadapkan oleh suatu kondisi yang bertentangan. Missal ketika saya harus mengantarkan keorang tua kerumah sakit, smentara saya memiliki kewajiba bekerja. Kita akan berfikir jika kita bolos mungkin penerimaan social menjadi buruk di tempat kerja dan mungkin kita memiliki rasa diri yang bersalah atau lainnya.Namun sisi lain kita juga memiliki society “keluarga” yang juga memiliki pandangan serupa, terhadap penerimaan kita. Nah disisi pengetahuan kita tentang pentingnya orang tua dan kesehatan, akan menyebabkan putusan kita lebih pada pilihan pertama.

4. Teori Manajemen makna terkoordinasi
Oleh : W Barnett Pearce
Banyak orang menerima percakapan mereka begitu saja. Ketika individu berbicara satu sama lain, mereka sering jatuh ke dalam pola bicara yang dapat diprediksi dan bergantung pada norma sosial yang ditentukan. Untuk memahami apa yang terjadi selama percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen mengembangkan Coordinated Management of Meaning (CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasarkan aturan.
Secara umum teori CMM mengacu pada bagaimana individu menetapkan aturan untuk mrenciptakan dan menginterpretasikan makna dan bagaimana aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan, di mana makna secara konstan selalu dikoordinasikan. Untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman hidup, Perce dan Cronen (1980) menggunakan metafora “teater tanpa sutradara”.
Asumsi asumsi manajemen Makna Terkoordinasi
CMM berfokus pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain; teori ini meneliti bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Teori ini sangat penting karena berfokus pada hubungan antara individu dan masyarakatnya (Philipsen, 1995).
1. Manusia hidup dalam komunikasi
Situasi social diciptakan oleh komunikasi, sehingga individu individu senantiasa aktif menciptakan realitas percakapan mereka. Individu individu menciptakan realitas percakapan mereka, dan setiap interaksi menmiliki potensi untuk menjadi unik. Pearce menyatakan bahwa dalam memahami komunikasi semestinya harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi memahami perilaku manusia.

Contohnya;
Ketika seseorang menjadi mahasiswa baru di daerah rantau, tentu mahasiswa ini memiliki pengalaman latar belakang yang khas, lalu bertemu dengan teman asrama dari daerah lain, sehingga mereka menjalin persahaban. Dalam proses perkenalan mereka tentu melakukan percakapan dengan aturan yang mereka miliki yang berbeda. Manajemen makna yang terbangun anatar interakasi ini akan berbeda beda tergantung pengelolan diri dan pesan.

2. Manusia saling meciptakan realitas social

Kepercayaan bahwa orang-orang saling menciptakan realitas social mereka dalam percakapan disebut juga konstruksionisme sosial (social constructionism). Terkadang, tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia disekeliling mereka. Akan tetapi, dari mana datangnya „individu‟, „emosi‟, dan ‟peristiwa/ objek‟? Semua ini dikonstruksikan dalam proses komunikasi.
Realitas sosial (social reality) mengacu pada pandangan seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai dengan interaksi interpersonalnya. Ketika dua orang terlibat dalam pembicaraan, masing masing telah memiliki banyak sekali pengalaman bercakap cakap dimasa lalu dari realitas sosial sebelumnya. Percakapan yang kini terjadi, akan memunculkan realitas baru karena dua orang datang dengan sudut pandang yang berbeda. Melalui cara inilah dua orang menciptakan realitas social yang baru. Perbedaan perbedaan yang dimiliki kedua orang yang berinteraksi akan mendiskusikan beragam permsalahan dan keduanya akan mengadopsi perspektif baru dan relaitas baru. Dan realitas social yang dialami oleh mereka berdua akan menjadi realitas Bersama.

3. Transaksi informasi bergantung pada makna pribadi dan interpersonal

Pada dasarnya, transaksi informasi tergantung pada makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Cushman dan Gordon Whiting (1972). Makna pribadi (personal meaning) didefenisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain sambil membawa pengalamannya yang unik ke dalam interaksi. Makna pribadi membantu orang-orang dalam penemuan; maksudnya, hal ini tidak hanya membuat kita mampu menemukan informasi tentang diri kita sendiri, melainkan juga membantu kita dalam penemuan kita mengenai orang lain.
“Artinya ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita akan merasakan mengenali apa yang telah kita ucapkan dan dan yang akan kita sampaikan, proses komunikasi ini akan mampu membantu kita dalam proses komunikasi dengan orang lain.”
Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal (interpersonal meaning). Untuk mencapai ini mungkin akan membutuhkan waktu, karena hubungan bersifat kompleks dan dihadapkan pada berbagai isu komunikasi, tergantung dari permasalahan mana yang sedang dibahas. Makna pribadi dan interpersonal didapatkan dalam percakapan dan seringkali tanpa dipikirkan sebelumnya.

Contohnya; ketika seorang dosen dikelas sering menggunakan Bahasa daerah mengajar dikelas, karena beberapa mahasiswa dari luar daerah, dosen tersebut berusaha menghindari penggunaan kata kata dalam Bahasa sunda. Namun dalam beberapa hal dosen kesulitan menjelaskan contoh permasalahan social dimasyrakat sehingga menggunakan jargon atau Bahasa daerah, saat mahasiswa dari luar daerah berusaha memahami pesan yang disampaikan, makna interpersonal harus sering dinegosiasikan sehingga aturan aturan makna tersebut bergeser dari penggunaan lingkup pribadi menjadi penggunaan standar dapat digunakan Bersama.

Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Hierarki dari makna yang terorganisasi merupakan salah satu ciri inti dari CMM, oleh karena itu hal ini akan dibahas dengan mendalam. Ketika orang-orang bertemu dan berinteraksi, mereka harus berusaha menangani tidak hanya pesan-pesan yang mereka terima, melainkan juga pesan pesan yang akan mereka kirimkan pada orang lain.
Dalam proses komunikasi para teoretikus CMM mengemukakan enam level makna, yaitu isi (content), tindak tutur (speech act), episode (episodes), hubungan (relationship), naskah kehidupaan (life script), dan pola budaya (cultural pattern). Level-level yang lebih tinggi membantu kita memahami level level yang lebih rendah. Maksudnya, tiap tipe berakar dari tipe yang lain.

1. Isi (kontent)
Merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna. Saat kita berkomunikasi dengan orang lain, tahap pertama yang kita lakukan adalah mengkonversi symbol yang dikirimkan rekan bicara menjadi sebuah makna sesuai dengan content yang dikirimkan. Saat kita berinteraksi dengan orang lain, maka kita akan mengklasifikasikan informasi yang masuk, sesuai kategori informasi yang kita terima dan mengkonversi menjadi suatu makna sesuai dengan pesan/symbol yang kita terima.

2. Tindak Tutur (Speech act)
Yaitu tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara, termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan, dan bertanya. Bisa dikatakan bahwa tindak tutur juga meliputi intonasi berbicara, sehingga kita bisa mengetahui maksud dari si pembicara tersebut.
Tindak tutur merupakan suatu susunan dari logika makna dan tindakan dari percakapan. Dan susunan ini dibangun Bersama. Sebagai contoh;
Sepasang suami istri sedang bertengkat, kemudian, karena salag satu merasa perlu membangun hubungan yang baik, mengucapkan permohonan maaf, dan kemudian mengucapkan kata kata dengan lembut “aku mencintaimu” disertai tatapan yang. Dinamika perubahan konfigurasi makna sedang dibangun oleh suami istri ini.
Pada level pertana “konten” kita langsung mengkomversi symbol menjadi makna sesuai dengan pesan yang dikirimkan. Pada level tindak tutur pemaknaan lebih kompleks, karena disertai dengan tindakan tindakan komunikasi yang mengkomgurasi makna lebih dalam.
Contoh saat kita bertemu orang baru kemudian mengucapkan salam sambal tersenyum, ini adalah bentuk kita melakukan manejemen makna untuk menyampaikan pesan, keramahan, bersahabat.
3. Episode
Episode adalah rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas. Bisa dikatakan, episode mendeskripsikan konteks dimana seseorang bertindak. Hal ini menunjukkan episode merupakan sebuah babak dalam suatu percakapan.
Sebagai contoh; saat saya berdiskusi dengan teman teman membahas tentang tugas kuliah, dan pembangian tugas, tetapi pada saat yang bersamaan teman menegosiasikan penekanan penyelesaian proposal riset terlebih dahulu. Adanya perbedan penekanan ini menunjukkanaktor sering sekali dihadapkan oleh episode episode yang beragam. Episode ini sangat ditentukan oleh pengalaman, budaya dan nilai nilai individu , sehingga sangat menentukan bagaimana suatu episode harus dilakukan.

4. Hubungan

Dalam hubungan terdapat tuntutan dalam berperilaku. Suatu hubungan di mana dua orang menyadari potensi dan keterbatasan mereka sebagai mitra dalam sebuah hubungan. Level hubungan menyatakan bahwa batasan-batasan hubungan dalam parameter tersebut diciptakan untuk tindakan dan perilaku. Contoh: bagaimana pasangan harus berbicara kepada satu sama lain, atau topik apa yang di anggap tabu dalam hubungan mereka.
Ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal mungkin membahas suatu hal tentang perselisihan atau perdebatan, interaksi dan komunikasi kita relative mudah untuk putus akibat lmahnya suatu hubungan. Namun saat kita berinteraksi dengan orang terdekat kita seperti pasangan kita tentang suatu hal yang tabu, kita berusaha untuk mengelola komunikasi dengan baik untuk mendapatkan hasil penyelesaian masalah seriing dengan kuatnya hubungan tersebut.

5. Naskah Kehidupan
Merupakan kelompok-kelompok episode masa lalu dan masa kini. Cobalah bayangkan naskah kehidupan sebagai autobiografi yang berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Kita ada sebagaimana adanya kita sekarang karena naskah kehidupan yang pernah kita jalani.
Kita adalah akumulasi dari episode episode yang telah kita lalui, dan orang lainpun adalah akumulasi dari episode kehidupan dan interasi selama hidupnya. Saat kita berinteraksi dengan orang lain, sesungguhnyakita sedah menyusun krip Bersama dengan menegosiasikan informasi informasi yang kita miliki untuk menyusun realitas Bersama.

“Contohnya, ketika sesorang yang pernah menikah namun gagal, hendak menikah lagi, individu ini memiliki skrip kehidupan yang Panjang, dan salahsatunya episode pahit tentang kegagalanya. Ketika berkomunikasi dengan pasangannya dalam membangun realitas Bersama, individu mempertimbangkan pengalaman pengalamannya untuk didiskusikan dengan pasangannya”.

6. Pola Budaya

Manusia mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dalam kebudayaan tertentu. Lebih jauh lagi, tiap dari kita berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kita. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan jenis kelamin, ras, kelas, dan identitas religius. Pola budaya atau arketipe, dapat dideskripsikan sebagai “gambaran yang sangat luas dari susunan dunia dan hubungan (seseorang) dengan susunan tersebut” (Cronen & Pearce, 1981). Maksudnya, hubungan seseorang dengan kebudayaan yang lebih besar menjadi relevan ketika menginterpretasikan makna.
“Disini kita dapan membanyangkan bagaimana proses komunikasi dalam menginterpretasikan makna akan mengalami kendala saat dua orang dengan latarbelakang yang berbeda”

Contoh: saat dua sejoli dengan latarbudaya kolektifis dan individualis akan menikah, bagaimana mereka menegosiasikan relaitas Bersama dengan latar budaya yang berbeda. Pada satu sisi lebih penekanan subtansi pernikahan, sementara yang lain, peningnya penekanan keterlibatan keluarga besar. .

Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan

Koordinasi adalah usaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan. Koordinasi ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Menurut Perce, cara terbaik memahami koordinasi adalah dengan mengamati orang-orang yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga hasil yang mungkin muncul,ketika dua orang sedang berbincang-bincang: mereka mencapai koordinasi, mereka tidak mencapai koordinasi, atau mereka mencapai koordinasi dalam tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Gerry Philipsen mengingatkan bahwa realitas social tidak sepenuhnya dikoordinasikan dengan sempurna, sehingga hasil yang paling mungkin dicapai adalah koordinasi yang dicapai sebagian.
Contohnya: ketika kita berkomunikasi dengan rekan kerja kita, sering sekali kita gagal adalam menggkoordinasi percakapan, misal saya mendiskusikan rencana riset, ketika saya menjelaskan realitas ini akan tertangkap dengan baik, jika kita gunakan pendekatan kuantitaif, lalu rekan saya setuju. Artinya kita dapat mengkordinasikan percakapan dan membangun relaitas social secara sempurna.

Pengaruh terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas (morality) dan ketersediaan sumber daya (resources). Pertama-tama, koordinasi mengharuskan individu untuk menganggap tingkatan moral yang lebih tinggi sebagai suatu hal yang penting (Pearce, 1989). Tingkatan moral pada dasarnya merupakan suatu kesempatan bagi individu untuk mengemukakan sudut pandang etis dalam sebuah percakapan. Para teoretikus CMM berpendapat bahwa etika merupakan bagian yang intrinsik dalam setiap alur percakapan.
Perce berkeyakinan bahwa orang memainkan berbagai macam peranan secara terus-menerus, seperti saudara perempuan, ibu, kekasih, siswa, karyawan, teman, dan warga negara. Ia percaya bahwa tiap dari kategori peran ini membawa berbagai macam hak dan kewajiban yang berbeda antar satu orang dengan orang yang lain. Selain moralitas, koordinasi juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya (resources) yang ada pada seseorang. Ketika para teoretikus membahas mengenai sumberdaya, mereka merujuk pada “cerita, gambar, symbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka” (Pearce, 1989)”. Sumber daya juga termasuk persepsi, kenangan, dan konsep yang membantu orang mencapai koherensi dalam realitas sosial mereka.
Seorang individu dalam berkomunikasi akan memainkan perannya, sebagai mahasiswa, sebagai ibu/ayah, sebagai atasan, bawahan, dan lainnya, peran ini memiliki komseuensi kewajiban dan haknya. Disini bagaimana dikita mengungkapkan pandangan kita atau etika dalam berinteraksi menjadi factor penting dalam koordinasi makna.
Contohnya; ketika seorang ketua DPRD keluar dari kantornya, kemudian seorang konstituen hendak menyalami sang kedua dprd dengan mengulurkan tangan, namun sang ketua DPRD berlalu.
Untuk contoh sumberdaya, ketika ada dosen baru brgabung dengan suatu universitas, satu sisi dia memiliki bekal dari pengalaman sebelumnya, sementara itu dosen yang sudah lama sangat mengenal baik kultur dan latarbelakang universitas tersebut, saat dua orang bertemu berinteraksi dengan dengan resource yang berbeda disini berpeluang akan mengalami hambatan dan mengkoordinasikan makna.

Penggunaan Aturan Dalam Mengkoordinasikan Makna
Pearce dan Cronen (1980) membagi dua tipe aturan. Aturan pertama adalah aturan konstitutif (constitutive rules) yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Dengan kata lain, aturan konstitutif memberitahukan kepada kita apa makna dari suatu perilaku tertentu. Yang kedua adalah aturan regulatif (regulative rules) yang di dalam aturan ini mengacu pada urutan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan

5. Teori Elaboration likelihood model (ELM)

Sejarah teori

Model Kemungkinan Elaborasi (ELM) dikembangkan oleh Richard E. Petty dan John T. Cacioppo pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Model ini pertama kali diperkenalkan dalam buku mereka, “Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change,” yang diterbitkan pada tahun 1986.
Petty dan Cacioppo bertujuan untuk mengatasi keterbatasan teori persuasi sebelumnya dengan mengusulkan kerangka komprehensif yang menjelaskan bagaimana orang memproses dan menanggapi pesan persuasif. Mereka melakukan penelitian dan eksperimen ekstensif untuk mendukung model mereka.
Teori ELM dipengaruhi oleh teori persuasi kognitif sebelumnya, seperti Teori Disonansi Kognitif, yang berfokus pada ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku, dan Model Heuristik-Sistematik, yang mengusulkan dua rute pemrosesan kognitif. Berdasarkan ide-ide ini, Petty dan Cacioppo mengembangkan Model Kemungkinan Elaborasi proses ganda.
Istilah “elaborasi” dalam model mengacu pada sejauh mana individu terlibat dalam proses kognitif rinci pesan persuasif. Bagian “kemungkinan” menunjukkan bahwa tingkat elaborasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi dan kemampuan.
Sejak diperkenalkan, Model Kemungkinan Elaborasi telah banyak diteliti dan diterapkan dalam bidang komunikasi dan persuasi. Ini telah digunakan untuk mempelajari berbagai topik, termasuk efektivitas periklanan, kampanye politik, komunikasi kesehatan, dan perilaku konsumen. Para peneliti telah memperluas model, mengeksplorasi faktor-faktor tambahan dan menyempurnakan kerangka konseptualnya.
ELM memiliki dampak signifikan pada pemahaman proses persuasi. Ini memberikan perspektif komprehensif tentang bagaimana individu memproses pesan persuasif melalui rute yang berbeda, menyoroti peran motivasi, elaborasi kognitif, dan isyarat periferal. Model ini terus menjadi kerangka kerja yang menonjol dalam studi komunikasi dan persuasi, memandu penelitian dan aplikasi praktis di berbagai domain.

Teori (ELM)/Model Kemungkinan Elaborasi, ada dua rute yang dapat dilalui dalam proses komunikasi persuasif:

Rute sentral: Rute sentral diambil ketika individu termotivasi dan mampu memproses pesan persuasif secara mendalam. Ini terjadi ketika topiknya relevan secara pribadi, individu memiliki sumber daya dan waktu kognitif yang cukup, dan ada minat yang tulus pada isi pesan. Di rute sentral, individu secara kritis mengevaluasi argumen yang disajikan, terlibat dalam elaborasi yang bijaksana, dan mempertimbangkan manfaat dan logika pesan tersebut.

Rute Periferal: Rute periferal diambil ketika individu tidak memiliki motivasi atau kemampuan untuk terlibat dalam pemrosesan pusat. Ini bisa terjadi ketika topik dianggap tidak relevan atau ketika individu terganggu, lelah, atau kekurangan sumber daya kognitif yang diperlukan. Di jalur periferal, individu bergantung pada isyarat periferal, seperti kredibilitas, daya tarik, atau kesukaan dari sumber, daripada menganalisis isi pesan secara mendalam.

Model Kemungkinan Elaborasi:

Rute Pusat dan Periferal: Model tersebut menunjukkan bahwa persuasi dapat terjadi melalui rute sentral dan periferal, tergantung pada motivasi dan kemampuan individu untuk terlibat dalam elaborasi kognitif. Rute berbeda dalam kedalaman pemrosesan dan ketergantungan pada berbagai jenis informasi.

Elaborasi Kognitif: Elaborasi kognitif mengacu pada sejauh mana individu secara aktif memikirkan dan mempertimbangkan pesan persuasif. Ini melibatkan analisis dan evaluasi yang cermat terhadap isi pesan, termasuk kekuatan argumen dan bukti yang disajikan.

Isyarat Periferal: Isyarat periferal adalah faktor non-pesan yang dapat memengaruhi persuasi ketika individu bergantung pada rute periferal. Isyarat ini dapat mencakup kredibilitas, keahlian, daya tarik, atau kesukaan sumber, serta aspek dangkal dari penyajian pesan, seperti penggunaan humor atau gambar yang hidup.

Potsulat Elaboration likelihood Model
Postulat 1: Mencari Kebenaran
Postulat pertama kami dan prinsip panduan penting dalam ELM setuju dengan pernyataan Festinger (1950) bahwa:
Orang-orang termotivasi untuk memegang sikap yang benar.
Sikap yang salah umumnya maladaptif dan dapat memiliki perilaku yang merugikan. konsekuensi moral, afektif, dan kognitif. Jika seseorang percaya itu pasti benda, orang, atau masalah adalah “baik” padahal sebenarnya “buruk”, beberapa di antaranya keputusan perilaku yang salah dan kekecewaan selanjutnya dapat terjadi. Sebagai
Festinger (1954) mencatat, implikasi dari dorongan semacam itu adalah bahwa “kita harapkan untuk mengamati perilaku pada bagian dari orang-orang yang memungkinkan mereka untuk memastikan apakah pendapat mereka benar atau tidak”.

Postulat 2: Variasi Elaborasi
Postulat 2 menyatakan bahwa: Meskipun orang ingin memegang sikap yang benar, jumlah dan sifat masalah relevan elaborasi di mana orang bersedia atau mampu terlibat untuk mengevaluasi pesan sangat tergantung pada faktor individu dan situasional.
Dengan elaborasi dalam konteks persuasi, yang di maksud adalah sejauh mana seseorang berpikir tentang argumen yang relevan dengan masalah yang terkandung dalam pesan. Ketika kondisi mendorong motivasi dan kemampuan orang untuk terlibat dalam pemikiran yang relevan dengan masalah, “kemungkinan elaborasi” dikatakan tinggi. Ini berarti bahwa orang-orang mungkin untuk menghadiri banding; berupaya mengakses asosiasi, gambar, dan pengalaman dari ingatan; meneliti dan menguraikan secara eksternal disediakan argumen pesan mengingat asosiasi yang tersedia dari memori; menggambar kesimpulan tentang manfaat dari argumen untuk rekomendasi berdasarkan analisis mereka; dan akibatnya memperoleh evaluasi keseluruhan, atau sikap terhadap, rekomendasi. Konseptualisasi ini menunjukkan bahwa ketika elaborasi kemungkinan tinggi, harus ada bukti untuk alokasi sumber daya kognitif yang cukup untuk advokasi. Elaborasi yang relevan dengan masalah akan biasanya menghasilkan argumen baru, atau terjemahan pribadi seseorang darinya diintegrasikan ke dalam struktur kepercayaan yang mendasari (skema) untuk objek sikap (Cacioppo & Petty, 1984a).

Postulat 3: Argumen, Isyarat, dan Elaborasi
Variabel dapat mempengaruhi jumlah dan arah perubahan sikap dengan cara: (A) berperan sebagai argumen persuasif, (B) berfungsi sebagai isyarat periferal, dan/atau (C) mempengaruhi tingkat atau arah isu dan elaborasi argumen.

A. KUALITAS PESAN ARGUMEN

Salah satu pertanyaan yang paling sedikit diteliti dan dipahami dalam psikologi persuasi adalah “Apa yang membuat argumen persuasif?” Seperti yang kita catat sebelumnya, ribuan studi dan sejumlah teori telah menjawab pertanyaan itu tentang bagaimana beberapa faktor extramessage (misalnya, kredibilitas sumber, pengulangan) mempengaruhi penerimaan argumen tertentu, tetapi sedikit yang diketahui tentang apa yang membuat a argumen tertentu (atau pesan) persuasif dalam isolasi.

B. Isyarat PERIFERAL
Menurut Model Kemungkinan Elaborasi, salah satu cara untuk mempengaruhi sikap adalah dengan memvariasikan kualitas argumen dalam pesan persuasif. Kemungkinan lain, bagaimanapun, adalah isyarat sederhana dalam konteks persuasi mempengaruhi sikap tanpa adanya pemrosesan argumen. Seperti yang kita catat sebelumnya, beberapa isyarat akan melakukan ini karena mereka memicu keadaan afektif yang relatif prima
yang menjadi terkait dengan objek sikap. Berbagai penguat (misalnya, makanan; Janis, Kaye, & Kirschner, 1965) dan menghukum (misalnya, sengatan listrik; Zanna, Kiesler, & Pilkonis, 1970) rangsangan telah terbukti efektif dalam hal ini. Lainnya isyarat bekerja, bagaimanapun, karena mereka memohon aturan pemandu (misalnya, keseimbangan; Heider, 1946) atau kesimpulan (misalnya, persepsi diri; Bem, 1972).

C. ELABORASI YANG MEMPENGARUHI
Konstruksi kunci dalam Elaboration Like- Lihood Model: kualitas argumen dan isyarat periferal. Sedangkan yang ketiga adalah dengan menentukan luas atau arah pesan pengolahan bijak. Variabel dapat memengaruhi pemrosesan argumen dalam cara yang relatif objektif.

Penerapan teori ELM dalam penelitian atau masyarkat
Para peneliti sering menggunakan ukuran seperti Skala Kebutuhan Kognisi untuk menilai tingkat kebutuhan kognisi seseorang. Dengan memahami kebutuhan akan kognisi, komunikator dapat menyesuaikan pesan dan strategi mereka untuk secara efektif melibatkan dan membujuk individu yang berbeda berdasarkan preferensi kognitif mereka.

Need for cognition atau “kebutuhan akan kognisi”, ini adalah konsep psikologis yang merujuk pada kecenderungan atau kecenderungan individu untuk terlibat dalam aktivitas kognitif yang penuh usaha, seperti pemrosesan informasi, pemecahan masalah, dan pemikiran kritis. Konsep ini diperkenalkan oleh psikolog John Cacioppo dan Richard Petty pada tahun 1982.
Kebutuhan akan kognisi dapat bervariasi di antara individu, dengan beberapa orang memiliki kebutuhan kognisi yang tinggi dan menikmati tantangan mental dan aktivitas intelektual, sementara yang lain mungkin memiliki kebutuhan kognisi yang lebih rendah dan lebih memilih untuk mengandalkan proses berpikir yang sederhana dan intuitif. Individu dengan kebutuhan kognisi yang tinggi cenderung terlibat lebih dalam dalam pemrosesan informasi, mengevaluasi argumen dengan hati-hati, dan mencari stimulasi intelektual.
Dalam konteks pengambilan keputusan dan persuasi, memahami kebutuhan individu akan kognisi bisa sangat berharga. Individu dengan kebutuhan-untuk-kognisi yang tinggi mungkin lebih mudah menerima argumen yang terperinci dan logis, sedangkan individu dengan kebutuhan-untuk-kognisi yang rendah mungkin lebih dipengaruhi oleh isyarat heuristik atau daya tarik emosional.

Contohnya; ketika kita pergi ke supermarket hendak membeli kebutuhan sehari hari, misalnya membeli smartphone. Di sana oleh sales kita ditawarkan satu produk, dan menjelaskan tentang spesifikasi smartphone tersebut, sales yang sedang mempersuasi konsumen, tentu konsumen akan menyimak spesifikasi yang dijelaskan, karena need for cognition yang tinggi, konsumen akan memproses pesan melalui jalur sentral. Namun setelah selesai, misal kita melihat sebuah asesoris smartphone, yang dibundel dan diberi diskon, kita tertarik memeli produk tersebut karena bukan butuh, lebih karena discount dan bundle yang diberikan. Dalam hal ini cenderung memproses dengan jalur feriferal.

State Of The Art Teori ELM

ELM diusulkan oleh Petty dan Cacioppo [9]. Ini adalah teori proses ganda yang menggambarkan perubahan bentuk sikap. Model menjelaskan berbagai cara rangsangan pengolahan. ELM memisahkan rute pusat (ketika seseorang mempertimbangkan sebuah ide logis) dan rute periferal (di mana seorang individu menggunakan ide-ide yang sudah ada sebelumnya dan kualitas yang dangkal untuk dibujuk oleh pesan) [9]. Individu menggunakan pusat
rute ketika mereka termotivasi dan dapat memikirkan masalah tersebut (konferensi keterlibatan tinggi
Sumeria). Berlawanan dengan rute sentral, rute periferal digunakan saat kemampuan atau
motivasi untuk berpikir tentang masalah rendah (konsumen keterlibatan rendah) [9, 10].

Daftar Pustaka

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008 “Teori Sosiologi Moderen”. Jakarta : Kencana
Prenada Media Grup
Ahmadi, D. (2008). Interaksi Simbolik. Jurnal Mediator, 9(2), 301–316.
Craig, R. T. (1999). Communication Theory as a Field. Communication Theory, 9(2), 119–161. https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.1999.tb00166.x
GRIFFIN, E., LEDBETTER, A., & SPARKS, G. (2015). Communication. In Studying for a Foundation Degree in Health. https://doi.org/10.4324/9781315684635-12
Lin, C. Y., Griffiths, M. D., & Pakpour, A. H. (2018). Psychometric evaluation of Persian Nomophobia Questionnaire: Differential item functioning and measurement invariance across gender. Journal of Behavioral Addictions, 7(1), 100–108. https://doi.org/10.1556/2006.7.2018.11
West, R., & Turner, L. (2021). Introducing Communication Theory Analysis Application. In McGraw-Hill Education.